Sekeluarga Tewas di Magelang Diduga Dibunuh sang Anak, Motif Sakit Hati?
Rabu, 30 November 2022
|
Ilustrasi Hakim yang Memvonis Ringan Pelaku Korupsi./Pixabay Daniel_B_photos
Kasus korupsi yang menimpa beberapa pejabat di Indonesia, diberi vonis yang cenderung ringan dan dianggap tak sebanding dengan perbuatannya.
Hal tersebut diutarakan oleh ICW yang menyoroti vonis ringan kasus korupsi beberapa pejabat selama 2021.
Dalam hal ini, ICW (Indonesia Corruption Watch) menyarankan Mahkamah Agung (MA) untuk mengevaluasi dan mengawasi hakim secara objektif.
"MA harus mencermati tren hukuman ringan kepada pelaku korupsi, salah satunya dengan mengidentifikasi hakim-hakim yang kerap melakukan hal tersebut. Jika ditemukan adanya kekeliruan, Mahkamah Agung harus mengevaluasi kinerjanya dengan tolak ukur objektif," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dikutip dari Detik.
Tak hanya itu, peneliti ICW juga merasa bahwa MA perlu mengevaluasi metode sistem evaluasi perkara dari mulai sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) hingga Direktori Putusan Mahkamah Agung.
Terlebih, menurut ICW, perlunya penerapan sanksi administratif terhadap pejabat terkait, guna mempercepat reformasi di MA.
"Mahkamah Agung harus menyusun pedoman sebagai tolak ukur majelis hakim saat menguraikan alasan memperingan dan alasan memperberat hukuman terdakwa," katanya.
Selanjutnya, menurutnya, bahwa MA perlu lebih gencar untuk melakukan publikasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Menurutnya, saat ini perlu pengawasan terhadap hakim yang menangani perkara korupsi dan MA perlu menyusun pedoman pemidanaan tindak pidana korupsi di luar kerugian negara.
"Mahkamah Agung harus mulai menyusun pedoman pemidanaan bagi tindak pidana korupsi di luar kerugian keuangan negara, seperti suap, gratifikasi, pemerasan, benturan kepentingan dalam proses pengadaan, dan lain sebagainya. Sebab, fenomena disparitas juga kerap terjadi dalam jenis korupsi lainnya," sebutnya.
Pencabutan hak politik terhadap terdakwa kasus korupsi yang berasal dari insan politik pun perlu dilakukan.
"MA harus menyerukan urgensi pencabutan hak politik bagi terdakwa yang berasal dari klaster politik, mulai dari anggota legislatif, kepala daerah, atau pejabat publik lainnya," tandasnya.
Adapun fenomena pemotongan pidana terkait kasus korupsi pun perlu ditinjau kembali dalam prosesnya.
"Jika syarat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi, maka proses hukum luar biasa tersebut harus ditolak," katanya.
Berita Terbaru |
Sekeluarga Tewas di Magelang Diduga Dibunuh sang Anak, Motif Sakit Hati?
Rabu, 30 November 2022
|
Prajurit TNI AU Prada Indra Meninggal Dunia, Netizen Samakan dengan Kasus Brigadir J
Jumat, 25 November 2022
|
Koalisi Gerindra-PKB Dikabarkan Mandeg, Cak Imin Singgung Komposisi Baru
Rabu, 23 November 2022
|
Special Insight: Marak Kasus Bully dari Anak-anak hingga Dewasa, Kenapa Ya?
Selasa, 22 November 2022
|
Iriana Jokowi Dihina Warganet di Twitter, Netizen Nilai Ejek Seluruh Rakyat Indonesia
Senin, 21 November 2022
|
Xi Jinping Marahi Justin Trudeau saat KTT G20, Warganet Sebut Hanya di Indonesia…
Jumat, 18 November 2022
|
Gibran Rakabuming dengan Anies Baswedan Bertemu, Disebut Upaya Memecah Belah PDIP
Kamis, 17 November 2022
|
Puncak KTT G20 Hari Pertama, PBB Titip Pesan, Menlu Rusia Masuk RS?
Selasa, 15 November 2022
|
Sekeluarga Tewas di Kalideres, Kriminolog Duga Dilaparkan, Berikut Fakta-faktanya
Senin, 14 November 2022
|